Kebenaran, Pengaruh, Reputasi dan Kekeliruan
Pernah terfikir kenapa puak puak Amerika dan sekutu ni nak sangat hapuskan Islam sedangkan diorang tahu Islam tu benar dan kebenaran itu jelas bagi mereka?
Atau pernah kalian mengetahui bahawa apakah lawan terhebat bagi kebenaran? Ya, ia kekeliruan.
Ambillah manfaat dari kisah ini…
Suatu ketika Abu Dzar datang ke Mekah tanpa membawa barang dagangan satu pun, termasuk wang perniagaan. Hal ini tentu saja membuat Abu Jahal kehairanan. Dia pun bertanya kepada Abu Dzar, “Apakah kau membawa barang dagangan, hai sahabatku?”
Abu Dzar menjawab, “Seperti yang kaulihat, aku tidak membawa apa pun.”
“Apakah engkau membawa wang?” tanya Abu Jahal kembali.
“Tidak juga,” jawab Abu Dzar singkat.
Melihat ada sesuatu yang tidak biasa pada sahabatnya, Abu Jahal kembali bertanya, “Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke Mekah tanpa membawa barang dagangan atau wang? Adakah tujuanmu yang lain?”
Melihat kerisauan sahabatnya, Abu Dzar mencuba menenangkannya dengan menjawab, “Sahabatku Abu Jahal, kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan.”
“Lantas untuk apa?” tanya Abu Jahal yang makin ingin tahu.
“Aku ingin bertemu dengan anak saudaramu”
Jawapan Abu Dzar makin membingungkan Abu Jahal. Abu Jahal pun kembali bertanya, “Anak saudaraku? Siapakah yang kaumaksud?”
“Muhammad,” jawab Abu Dzar singkat.
“Muhammad?” ulang Abu Jahal untuk meyakinkan apa yang baru saja ia dengar.
“Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, anak saudaramu itu telah diangkat menjadi seorang rasul. Engkau harus bangga mempunyai anak saudara semulia itu, sahabatku!” jelas Abu Dzar panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa si bap saudara itu tidak menyukai risalah yang dibawa anak saudaranya, Muhammad.
Abu Jahal yang tidak ingin Islam memengaruhi sahabatnya segera mencegah Abu Dzar untuk bertemu Rasulullah saw dan berkata, “Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat, jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah kau menemui anak saudaraku itu!”
“Mengapa kau berkata seperti itu?” tanya Abu Dzar Al-Ghifari kehairanan.
Abu Jahal menjelaskan, “Kautahu, Muhammad itu sangat menarik. Ia sangat mempersona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kaupasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya sangat lembut dan sopan membacakan wahyu. Semua kalimatnya menyentuh jiwa.”
Tentu saja jawapan Abu Jahal sangat berlawanan dengan saranannya untuk tidak menemui Rasulullah saw. Di satu sisi ia melarang Abu Dzar untuk bertemu anak saudaranya, tetapi di sisi lain ia memberikan alasan yang baik-baik tentang Rasulullah saw.
Abu Dzar mengungkap keheranannya seraya berkata, “Aku tidak mengerti, tetapi apa itu bererti kau yakin dia seorang rasul?”
Abu Jahal langsung mengiyakan. Katanya, “Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang rasul. Ia baik kepada semua orang tua dan muda, begitu pula budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apa pun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali.”
“Aku belum mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku,” tandas Abu Dzar, “kaubilang bahwa kauyakin anak saudaramu itu adalah seorang rasul.”
“Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikit pun,” tegas Abu Jahal.
“Apakah kaupercaya bahwa ia benar?” tanya Abu Dzar kembali.
“Lebih dari sekadar percaya,” Jawab Abu Jahal.
“Tapi engkau melarangku untuk menemuinya …,” tanya Abu Dzar masih dengan kehairanan.
Abu Jahal menjawab “Begitulah ….”
“Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?”
Abu Jahal tersentak dengan pertanyaan sang sahabat. “Ulangi sekali lagi pertanyaanmu …,” pinta Abu Jahal.
“Apakah engkau mengikuti agamanya menjadi pemeluk Islam?” Abu Dzar kembali mengulangi pertanyaannya seperti permintaan Abu Jahal.
Tidak boleh mengelak, Abu Jahal berdalih, “Sahabatku, sampai bila pun aku tetap Abu Jahal. Aku bukanlah orang gila. Aku masih waras. Berapa pun kaubayar aku, aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!”
Abu Jahal melanjutkan, “Meskipun aku yakin bahwa Muhammad itu benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai bila sekali pun. Sampai titik darah penghabisanku.”
“Apa sebabnya?” tanya Abu Dzar.
“Kautahu sahabatku, jika aku menjadi pengikut anak saudaraku sendiri, kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?”
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya akan pemikiran sahabatnya, ” Pendirianmu keliru, sahabatku.”
“Aku tahu aku memang keliru,” ujar Abu Jahal.
Abu Dzar mengingatkan sahabatnya, “Kelak, engkau akan dikalahkan oleh kekeliruanmu.”
“Baik, biar saja aku kalah. Bahkan, aku tahu diakhirat kelak akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Namun, aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan,” jawab Abu Jahal sambil berlalu meninggalkan Abu Dzar yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.